CERITA SEX - BOKEP - BOKEP INDO - BOKEP SANGE

CERITA SEX - BOKEP - BOKEP INDO - BOKEP SANGE

CERITA SEX - BOKEP - BOKEP INDO - BOKEP SANGE
CERITA SEX - BOKEP - BOKEP INDO - BOKEP SANGE

Begitu nikmat bersama tante kandungku

Tes…tess.. Hujan gerimis. Padahal mentari masih bersinar, membuai orang orang menikmati senja. Aku bergegas pulang. Keramaian taman makin menghilang. Sibuk orang orang menyelamatkan diri dari titik-titik air. lalu menyelamatkan

“Saka, bantuin Tante dong!
Tanpa bicara aku membantunya. Sprei,kelambu, baju, t-shirt , …ih, pakaian dalam.
“Bawa kemana, Tante?”
“Sekaliab ke dalam aja!”

Tante Imas berjalan di depanku. Menaiki tangga hingga lantai dua. Aku cukup puas menikmati irama punggulna jelas membayang, Seakan telanjang. Kami masuk ke rumahnya. Tante imas menggeletakkan jemuran di sudut kamarnya, akupun mengikutinya.

“Makasih ya? kamu mau minum apa, ka?” tanyanya yang langsung menhentikan maksudku untuk langsung pulang.
“Apa ajah deh,Tante. Asal anget.”

 

Kurebahkan diri di sofanya. Hmm, lumayan nyaman. Tante Imas belum mempunyai anak. Yang
kutahu, suaminya, Om yang tak kutahu namanya itu hanya sekali-kali pulang. Dengar-dengar
pekerjaanya sebagai pelaut. Ha ha, pelaut. Di mana mendarat, di situ membuang jangkar. Sinis
sekali aku.
“Om belum pulang, Tante?” tanyaku basa-basi sambil menerima teh hangat.
“Belum, nggak tentu pulangnya. Biasanya sih, hari Minggu. Tapi hari Minggu kemarin nggak
pulang juga.”
“Tante nggak kemana-mana?”
“Mau kemana, paling cuma di rumah saja. Kalau ada Om baru pergi-pergi.”
“Eh, kamu nggak ada keperluan lain, kan?”
“Nggak, Tante,” jawabku. Mau apa aku di rumah, sendirian, di tengah hujan yang semakin lebat
begini.
“Temenin Tante ya. Ngobrol.”
Kamipun terlibat dalam obrolan yang biasa saja. Sekedar ingin tahu kehidupan masing masing.
Dari ucapannya, kutahu bahwa suaminya bernama Om Iwan. Jarang pulang. Yang cukup
membuat darahku berdesir agak cepat adalah daster itu. Seakan aku bisa melihat dua titik di
dadanya, yang timbul tenggelam ketika kami bercengkrama. Tangan Tante Imas cukup atraktif.
Entah sengaja atau tidak sering menyentuh tanganku, atau mampir di pahaku. Makin lama
duduknya pun semakin dekat. Hingga..

“Saka, mau nonton film nggak? Tante punya film bagus nih.”
Wah untunglah. Rumahku tidak mempunyai vCD player. Tante Imas menyalakan TV lalu
memasang film. Dan, astaga ternyata dia benar tidak memakai BH dan celana dalam. Aku bisa
melihatnya jelas karena dia cukup lama berdiri menyamping, cahaya TV membuat gaun
tidurnya menjadi selaput transparan. Bentuk payudara beserta putingnya beserta rambut di
pangkal paha. Aku lebih ternganga lagi karena film itu XX. Kembali Tante Imas duduk di
sampingku, malahan lebih dekat lagi. Tangannya mengusap-usap lenganku dengan lembut.
“Filmnya bagus ya?” Bisiknya pelan.
Namun terdengar di telingaku bagaikan rayuan. Aku tak mampu menjawab karena bibir
bawahku menahan ekstasi yang kuat. Entah apa yang harus kulakukan kini. Mataku tak lepas
dari wanita yang merintih di film itu, yang sudah distel suaranya pelan. Tante Imas
menggenggam pergelangan tanganku. Dan, astaga. Dibawanya tanganku ke payudaranya.
Didiktenya tangan ini ke daerah yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Begitu pula tangan
kiriku. Kini masing-masing telapak tangan itu memegang rata masing-masing pasangannya,
payudara. Pandanganku masih ke arah TV. Aku tak berani menatap wajah Tante Imas.. Tak
pernah aku impikan hal ini terjadi. Sementara di TV desahan si gadis yang menghadapi dua
batang penis makin membuat hot suasana.
“Saka, hadap sini dong,” ujarnya manja.
Kuhadapkan wajahku. Kulihat tatapan pengharapan di sana. Wajah Tante Imas cukup cantik,
dengan kulit putih dan senyuman manis yang menghiasinya. Aku masih memegang payudara
itu, hanya memegang dengan daster yang melapisinya. Ah, tak terasa daster itu. Hanya
payudara besar ini fokus pikiranku. Tanganku masih canggung, sementara ada sesuatu yang
mulai menggeliat di bawah sana.
Tiba-tiba dia menghentikanku, dengan cara yang sempurna. Tangannya merengkuhku dalam
pelukan, sementara bibirnya mencium lembut. Payudaranya menghimpit dadaku. Membuat
dadaku berdetak hingga aku merasa bisa mendengarnya. Ciumannya nikmat. Beda sekali
sekali dengan apa yang ada di TV. Seakan ingin mengaliri dengan hangat jiwanya. Kami
berciuman lama sekali, tak terasa tanganku ikut mendekapnya makin erat. Kulepaskan
dekapanku untuk mulai mengontrol diri kembali. Berakhirlah sesi ciuman itu.
“Kenapa Saka? Kamu marah ya?” tanyanya pelan.
Tapi sialan, suara-suara di TV itu kembali mengacaukanku. Melumpuhkanku lagi dalam birahi.
“Maafin Tante ya? Tante..” Wajah itu mengeluarkan prana iba untuk dikasihi.
Dia kembali menciumku, cukup hangat. Namun tak sehangat tadi kurasa. Akupun tak
mengharap ciuman kasih sayang, karena dariku juga tinggal nafsu. Ciuman-ciuman itu pindah
ke leher dan telinga. Ah, tak pernah kubayangkan bahwa daerah ini lebih membuatku bergidik.
Akupun menirunya. Kami saling menciumi leher, bahkan Tante Imas sempat mencium keras.
“Aduh, Tante..”

Dia lalu tersenyum dan berdiri. Perlahan dia melepas daster itu, mulai dari tangannya. Satu
demi satu tangan daster itu terlepas. Daster melorot, tertahan sebentar di bulatan payudaranya
yang besar. Dia menarik ke bawah lagi daster itu. Terlihat payudara, tanpa BH. Putih, bulat,
besar, dengan puting susu berwarna merah muda. Mulutku menganga kagum seakan ingin
memakannya. Aku menelan ludah.
Diturunkannya lagi. Aku menikmati satu persatu sajian pemandangan itu. Perutnya putih
dengan pinggang yang ramping. Pusarnya menjadi penghias di sana. Daster itu tertahan di
pinggangnya. Oh, pantatnya menahan. Aku semakin berdebar, ingin mempercepat proses itu,
aku ingin segera melihat kemaluannya. Diturunkan lagi, dan ah.. vagina itu muncul juga. Dihiasi
rambut berbentuk segitiga yang tak begitu lebat. Bibir vaginanya merah segar, sedikit basah.
Untuk pertama kalinya aku melihat wanita bugil. Dengan senyumnya, bangga membuatku
tergakum-kagum.
“Sekarang, kamu juga buka ya?” perintahnya manja.
Aku membuka tshirtku. Tante Imas membuka celanaku, Lepas jinsku, tapi Tante Imas tak
segera membukanya. Dia jongkok lalu menjilati penisku dari luar celana dalam. Tampak noda
basah sperma yang makin ditambah oleh air ludah. Penis itu makin membesar dalam celana
dalam, rasanya tak enak kerena tertahan. Segera kubuka dan ..hup keluarlah batang kemaluan
diikuti dua bolanya. Tante Imas mengecupnya, si penis tampak membesar. Semakin tegaknya
penis diikuti dengan jilatan-jilatan lidah. Uff, enak sekali.
Kini gantian tangannya yang bekerja. Pertama dirabanya semua bagian penis, lalu mulai
mengocoknya. Setelah kira-kira telah utuh bentuknya, tegak dan besar, dimasukkannya ke
dalam mulut. Tante Imas memandang ke atas, wajahnya berseri-seri .
“Teruskan Tante.”
Lidah Tante Imas menjilat-jilat, kadang menggelitik penisku. Lalu mulai memaju mundurkan
mulutnya, seakan sebuah vagina menyetubuhi penis. Ini hebat sekali. Sekitar 15 menit
permainan itu berlangsung, hingga..
“Tante, saya mau ke-luar..” kataku terengah-engah.
Tante Imas malah mempercepat kocokan mulutnya. Aku ikut memegang kepalanya. Dan
keluarlah ia. Aku merasa ada 5 semprotan kencang. Tante Imas tidak melepasnya, ia
menelannya. Bahkan terus mengocok hingga habis spermanya. Lega rasanya tapi lemas
badanku. Tante Imas berdiri, kemudian kami berciuman lagi. A
“Sekarang gantian ya..”
Kini aku menghadapi payudara siap saji. Pertama kuraba-raba dengan kedua tanganku.
Remasan itu kubuat berirama. Lalu aku mulai berkonsentrasi pada puting susu. Kutarik-tarik
hingga payudaranya terbawa dan kulepaskan. Hmm, bagaimana rasanya ya? Aku mulai

menjilatinya. Enak. Jilatanku pada satu payudara sementara tangan yang lain meremas
satunya. Ketika kuhisap-hisap putingnya, terasa makin mancung, mengeras, dan tebal puting
itu. Kulakukan pula pada payudara satunya. Oh, ternyata jika wanita terangsang, yang ereksi
adalah puting susunya. Kira-kira 5 menit aku melakukannya dengan nikmat.
Kemudian jilatanku turun, hingga vaginanya. Kucoba dengan jilatan-jilatan. Kusibakkan lagi
rambut kemaluannya agar jilatan lebih sempurna. Ada seperti daging kecil yang menyembul.
Yang kutahu, itu adalah klitoris. Kuhisap seperti menghisap puting susu, eh Tante Imas
merintih.
“Hmm, Saka, jangan dihisap. Geli. Tante nggak kuat.”
Dan Tente Imas benar-benar lunglai. Tubuhnya rebah ke sofa. Dia terlentang dengan paha
mengangkang memperlihatkan vagina terbuka dan payudara yang berputing tegak. Aku
lanjutkan lagi kegiatan ini. Makin lama kemaluannya makin basah. Jilatan dan hisapanku makin
bersemangat, sementara di sana Tante meremas-remas payudaranya sendiri menahan ektasi.
Tiba-tiba pahanya mendekap kepalaku dan ..serr seperti ada aliran lendir dari vaginanya. Otot
liang itu berkontraksi. Inikah orgasme, hebat sekali, dan aku melihatnya dari dekat. Tak
kusia-siakan lendir yang mengalir, kuhisap dan kutelan. Rasanya lebih enak dari sperma.
Tubuh Tante Imas yang bergoyang-goyang akhirnya tenang kembali. Jepitan pahanya mulai
melemah namun penisku mulai ereksi lagi. Kucium mesra vaginanya seperti aku mencium
bibirnya. Tante Iya tersenyum. Bibirnya berkata “Terima kasih,” namun tak mengeluarkan suara.
Gambar di film itu merangsang kami. Wanita berpayudara besar terlentang diatas meja kantor.
Diatasnya laki-laki dengan penis panjang dan besar menyetubuhi payudaranya. Tangan si
wanita menekan payudaranya sendiri agar merapat, dan penis itu melewati celahnya. Kupikir
pasti asyik sekali. Aku menjilati dulu payudara Tante Imas, agar basah dan lengket. Tak lupa
dengan hisapan-hisapan di putingnya. Setelah merasa cukup, aku duduk di muka payudara itu.
Tante Imas merapatkan celah payudaranya. Dia tersenyum senang. Aku mulai dengan pelan
memasuki celah payudara, seakan itu adalah liang vagina. Uff, sensasinya luar biasa. Aku
mulai memaju mundurkan penis dengan irama. Ujung penisku terlihat saat aku maju. Kalau
klimaks, pasti spermanya sampai ke wajah Tante. Tanganku ikut memegang payudara untuk
menguatkan hujaman penis. Kadang aku menarik-narik puting susu. Aku mencium bibirnya,
mengangkat paha di lehernya, kemudian menyerahkan lagi penisku. Dihisap dan jilat lagi,
seperti tak puas saja. Posisiku duduk tak enak. Aku tak bisa duduk karena akan menekan
lehernya, tangankupun tak bisa memaju mundurkan kepalanya. Oh, ada sandaran tangan.
Empuk lagi. Apalagi kalau bukan payudara.
Sambil aku meremas-remasnya, penis seperti diremas-remas juga.
Tante Imas mengeluarkan kemaluanku sebentar, mengajak posisi 69. Hm, kupikir boleh juga.
Maka aku berganti posisi lagi. Tubuhku menghadap Tante Imas, tapi saling berlawanan.
Penisku di mulutnya, vaginanya di mulutku. Sampai beberapa saat kami melakukan itu. Aku tak
tahu apakah Tante mendapat orgasme lagi, tapi dia sempat diam mengulum penisku, pahanya
menekan rapat kepalaku, tapi tak ada cairan yang keluar.

“Saka, berhenti dulu deh.” serunya.
Padahal aku sedang asyik dengan posisi ini. Tante Imas berdiri menuju ke dapur. Rupanya dia
minum air dingin. Tante Imas datang. Membawa dua gelas air es dan menyodorkan dua tablet
yang kuduga obat kuat. Kami meminumnya satu-satu. Tante memperhatikanku lalu melihat film
itu.
“Kita bercumbu beneran, yuk,” ajaknya.
“Di bathtub yuk.”
Dia memegang kemaluanku seperti memegang tanganku, untuk mengajak dengan
menggandeng penis itu. Kami ke kamar mandinya. Bathtub-nya cukup besar, Kami mulai lagi.
Di bawah shower itu berpelukan sambil meraba dan menyabuni. Nikmat sekali menyabuni
payudaranya, senikmat disabuni penisku. Tak ada yang terlewatkan, termasuk vagina dan
anus. Ketika air mulai penuh, kami berendam. Airnya tak diberi busa. Nyaman sekali. Lalu kami
mulai saling merangsang, meninggikan tensi kembali. Tante Imas mengocok penisku dalam air,
sementara aku meraba-raba vaginanya.
Tak berapa lama dia duduk di pinggiran bathtub. Kelihatannya dia ingin vaginanya dijilat. Aku
merangkak menjilatinya. Cairannya mulai keluar lagi.
“Pakai tangan juga dong,” pintanya lanjut.
Aku menuruti saja. Kukocok dengan telunjuk kananku. Kucoba telunjuk dan jari tengah,
semakin asyik. Tangan kiriku mengusap klitorisnya. Tante memejamkan matanya menahan
nikmatnya. Sebelum berlanjut lebih jauh, Tante menghentikan. Membalik badannya menjadi
menungging dan membuka pantatnya. Ternyata dari tadi aku belum mengeksplorasi daerah
anus. Akupun mencobanya. Kujilat anusnya, reaksi Tante mendukung. Kujilat-jilat lagi, dari
anus hingga vagina. Lalu kocoba masukkan dua jariku lagi ke vaginanya dan mengocoknya.
Lidahku menjilat-jilat lagi. Daerah pantat yang menggembung berdaging kenyal seperti
payudara. Akupun suka. Tante Imas menunjukkan reaksi seperti akan orgasme lagi.
Desahannya mulai keras.
“Saka, Tante mau keluar lagi nih. Cepat! Pakai penismu. Ayo masukin penismu. Cumbu Tante,
Saka,” jeritnya tertahan putus-putus.
Astaga, dirty talk sekali. Membuat aku makin terangsang. Aku siapkan penisku, walau agak
bingung karena tak ada pengalaman. Tante Imas mengocok vaginanya sendiri sambil
menungguku memasukkan penis. Penis sudah kuarahkan ke vagina.
“Tante, nggak bisa masuk, nih,” tanyaku bingung.
“Tekan saja yang kuat. Tapi pelan-pelan.”
Aku ikuti sarannya, tetap saja susah. Dasar pemula. Jadinya penisku hanya merangsang mulut
vagina saja, menggosok klitoris, tapi itu malah membuat Tante makin terangsang.

“Ayo masukkan, Tante sudah hampir keluar,”
Dengan tenaga penuh aku coba lagi. Dan, berhasil. Kepala penisku bisa masuk walau sempit
sekali. Tante Imas bergoyang untuk merasakan gesekan karena klimaksnya semakin dekat.
Ketika aku coba masukkan lebih dalam lanjut pantat Tante bergoyang hebat. Otot vaginanya
seperti meremas-remas. Penisku yang walau baru kepalanya saja menikmati remasan vagina
ini. Dan Tantepun orgasme. Setelah itu dia jatuh dan berbaring dalam bathtub. Aku sudah
melepaskan penisku.
“Tante, maafin saya ya,” kataku agak menyesal.
Aku belum memasukkan seluruh penisku dalam vaginanya saat dia orgasme.
“Nggak apa-apa. Kepala penisnya sudah nikmat, koq. Ayo kita coba lagi. Sekarang penis kamu
mau dikulum, nggak?” Tak usah bertanya. Ganti aku yang duduk di tepi bathtub”.
Tante merangkak dan mengulum penisku. Ah, pose seperti ini membuat aku nyaman, seakan
aku yang punya kuasa. Di ujung tubuh yang merangkak itu ada pantat. Wah, empuknya seperti
payudara. Akupun menjamah dan meremas-remasnya. Kadang aku membandingkan dengan
satu tangan tetap meremas pantat, tangan yang lain meremas payudara. Kenikmatan ganda.
Kelihatannya Tante juga menikmati sekali.
Ombak berdebur kecil di bathtub itu. Kurasakan penisku mulai megeluarkan tanda akan
klimaks. Tumben cukup lama sekali aku bertahan. Mungkin karena obat yang diberikan Tante.
Kuhentikan gerakan Tante, kuanggukkan kepalaku ke wajahnya yang masih mengulum
penisku. Tante berdiri, aku mengikutinya. Tante membuka vaginanya, aku mengarahkan
penisku.
Kugosok-gosokkan ke vaginanya. Kutemukan klitosinya. Seperti puting susu, kumasukkan
klitoris itu ke dalam lubang penisku. Rangsangannya kuat, sampai-sampai Tante mau jatuh lagi
seperti ketika klitorisnya kuhisap kuat-kuat. Ok, sekarang aku mulai memasukkan penisku.
Tante Imas menggenggam penisku, mengarahkan agar bisa masuk. Aku seperti orang bodoh
yang harus diajari untuk melakukan gerakan yang kupikir semua laki-laki juga bisa. Ternyata
tidak mudah. Dengan susah payah akhirnya kepala penisku masuk.
Seperti tadi, kucoba goyang maju mundur untuk membuatnya siap melanjutkan misinya.
Suasana begitu sepi, mungkin sudah malam. Tapi hujan masih menetes satu-satu. Sunyi. Saat
itu, tiba-tiba ada ketukan di pintu rumah. Tok..tok..tok.. Dan kami diam seperti hendak dipotret
saja,
“Imas..Imas, ini aku. bukain pintu dong..”, teriak seorang laki-laki.
Kami bagai tersambar geledek, mematung dalam badai. Hujan tadi berlanjut menjadi badai
akibat suara itu.
“Mas Iwan..”, bisik Tante Imas pelan. Penisku langsung lemas, keluar begitu saja dari vagina
yang telah susah payah berusaha dijebolnya.

“Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku akan berpura-pura..”
“Kalau aku?”
“Sembunyi saja.” “Dimana?” Kata-kata kami meluncur cepat nyaris tak bersuara. Kami berusaha
berfikir. Agak sulit, karena sedari tadi hanya menggunakan nafsu.
“Imas, kamu tidur ya? Bukain dong,” suara Om Iwan seakan detik-detik bom waktu yang siap
meledak. Wajah Tante Imas sedikit cerah.
“Aku ada akal..”
“Gimana?” tanyaku tak sabar.
“Kamu di sini saja dulu. Jangan keluar sebelum kupanggil.”
Tante Imas merendam lagi dirinya dalam bathtub, kemudian keluar. Aku menutup pintu kamar
mandi, tidak terlalu rapat agar bisa melihat keadaan. Kulihat Tante Imas membawa pakaianku
dan menengelamkannya dalam tumpukan jemurannya. Mengelap lagi sofa dengan dasternya,
melemparkan daster itu ke tumpukan jemuran. Kemudian membuka pintu. Apa yang
dilakukannya? Dia sudah gila? Aku bisa mati jika suaminya tahu kami telah berbuat. Belum sih,
tapi hanpir menyetubuhi istrinya. Lalu? Adakah mantra untuk menghilang? Aku takut
menghadapi kenyataan Saat ini Di tempat ini Dalam keadaan ini Dengan apa yang telah
kulakukan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CERITA SEX - BOKEP - BOKEP INDO - BOKEP SANGE © 2024 Frontier Theme